Wednesday 8 February 2012

TENGOK KE TIMUR, LIHAT PEMENANG SEBENARNYA


Wartawan senior Inggris yang terkenal, Robert Fisk, adalah salah seorang wartawan yang sangat intens mendiskerditkan pemerintahan Syria di bawah Presiden Bashar al Assad. Demikian intensnya ia menyerang regim Syria hingga saya nyaris tidak percaya penulis independen ini telah mengkhianati hati nuraninya sendiri dengan tidak melihat fenomena kerusuhan Syria dari sudat pandang yang netral.

Namun akhirnya Fisk menyadari kekeliruannya. Dalam tulisan terakhirnya di harian Independen Inggris tgl 7 Februari, ia mengakui bahwa Bashar al Assad telah menjadi pemenang dalam konflik politik yang tengah melanda Syria.

"Tidak, mungkin untuk waktu yang lama," tulis Fisk mengenai kemungkinan Bashar al Assad terjungkal dari kekuasaannya.

Dan alih-alih mengecam Rusia dan Cina karena pembelean mereka yang gigih terhadap Bashar al Assad dalam sidang DK PBB minggu lalu, Fisk mencoba mengerti posisi mereka dengan membandingkannya dengan langkah yang dilakukan Amerika saat membela Israel dalam aksi-aksinya yang brutal terhadap Palestina.

"Lihatlah kawasan Timur Tengah dari jendela istana kepresidenan Syria yang berada di atas kawasan tua Kota Damaskus. Benar bahwa negara-negara Teluk (GCC) telah memusuhi Syria. Benar bahwa Turki telah memusuhi Syria meski diam-diam menawarkan suaka politik kepada Bashar. Namun lihatlah di sebelah timur dan apa yang dilihat Bashar? Iran yang setia berdiri di sampingnya. Irak (sekutu baru Iran di kawasan Arab) yang setia, menolak sanksi atas Syria. Dan di sebelah barat, si kecil Lebanon yang setia, menolak sanksi atas Syria. Maka dari ujung timur perbatasan Afghanistan hingga ke Laut Tengah, Assad melihat satu garis lurus persekutuan pendukungnya yang mencegahnya, setidaknya hingga saat ini, kejatuhan ekonomi Bashar.

Fisk juga mengakui bahwa "yang menjadi masalah adalah bahwa barat terlalu terpedaya dengan cerita-cerita dan kuliah mengada-ada yang diberikan lembaga-lembaga kajian tentang lemahnya Iran, tidak bisa dipercayanya Irak, jahatnya Syria dan terlalu takutnya Lebanon, sehingga tidak bisa melihat kepalsuan gambaran itu dan menyadari bahwa Bashar al Assad tidak sendirian. Ini bukan berarti puja-puji atau dukungan bagi Assad untuk tetap berkuasa, melainkan suatu kenyataan," tulis Fisk.


RUSIA KECAM BALIK BARAT ATAS VETO

Sementara itu, kecaman-kecaman keras bernada kurang sopan yang dilakukan para pemimpin barat terhadap aksi veto yang dilakukan Rusia dan Cina terhadap draft resolusi Syria yang disusun Liga Arab dan Uni Eropa, membuat Rusia dan Cina berang. Sebelumnya utusan Amerika di PBB menyatakan "jijik" terhadap Rusia dan Cina sementara menhan Perancis mengatakan Rusia dan Cina patut "mendapat tendangan di pantat".

"Beberapa komentar dari para pejabat barat tentang resolusi DK PBB, saya ingin katakan, tidak patut dan berbentuk histeria," kata menlu Rusia Sergey Lavrov kepada wartawan di Moscow, Senin (5/2).

"Komentar-komentar histeris semacam itu ditujukan untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Saya ingat sebuah pepatah, siapa yang marah biasanya adalah yang bersalah," tambahnya. Pasti maksudnya adalah bahwa yang paling bertanggungjawab atas kerusuhan-kerusuhan di Syria adalah mereka yang mengecam Rusia.

Lavrov mengecam draft resolusi PBB karena hanya menyalahkan Assad dalam kerusuhan di Syria dan memintanya mundur dari jabatan. Padahal, kata Lavrov, terdapat banyak pihak yang turut bertanggungjawab atas kerusuhan di Syria.

Cina juga membantah tuduhan barat dalam hal ini. "Cina tidak memiliki kepentingan apapun dalam isu Syria. Kami tidak melindungi seseorang, kami juga tidak bermaksud menentang seseorang. Namun kami menjaga keadilan dan tingkah laku yang bertanggungjawab," kata jubir kemenlu Cina, Liu Weimin kepada wartawan.

Sementara dubes Syria di PBB, Bashar Al-Jaafari, menanggapi komentar sinis Amerika atas Rusia dan Cina dengan mengatakan, "Apakah ia juga merasa jijik dengan 60 veto yang dilakukan Amerika atas resolusi PBB yang ditujukan untuk mewujudkan perdamaian di Timur Tengah dan menyelesaikan konflik Arab-Israel?”



Sumber: almanar.com.lb; 7 Februari 2011

No comments: