Monday 22 June 2015

Rencana Amerika Memecah Belah Irak untuk Imbangi Iran

"Nasib Irak telah ditentukan pada saat kita menginvasinya (tahun 2003): mereka tidak memiliki masa depan lagi sebagai sebuah negara. Irak telah ditentukan untuk terpecah-belah menjadi setidaknya 3 negara kecil. Inilah tujuan sebenarnya kelompok pemuja perang yang tidak diumumkan: menghancurkan Irak, dan juga seluruh kawasan Timur Tengah. Tujuan mereka, dalam jangka pendek, adalah kekacauan, dan inilah apa yang benar-benar kita lihat terjadi saat ini," tulis Justin Raimondo, editor situs  Antiwar.com.

Namun, tujuan pecah belah Irak itu sudah tidak lagi tersembunyi. Komisi Senat AS yang membidangi masalah militer, awal bulan Mei lalu telah menyetujui RUU untuk memecah belah Irak menjadi 3 entitas negara. Dan sejak itu, agenda tersebut bukan lagi sebuah 'teori konspirasi'.

Kepala Staff Gabungan (Panglima Militer) Amerika Martin Dempsey, pada hari Rabu (17/6) mengakui di hadapan sidang dewan legislatif Congress bahwa upaya Amerika untuk merekrut milisi Sunni untuk mengusir kelompok ISIS dari kota Ramadi dan Provinsi Anbar, Irak, mengalami kegagalan. Dari 24.000 personil yang ditargetkan, hanya bisa direkrut sebanyak 7.000 personil saja, dan hal itu dianggap tidak cukup.

Sementara itu Menhan Ashley Carter, dalam momen yang sama  mengingatkan kegagalan itu bisa memancing Amerika untuk mengalihkan kebijakannya dengan mempersenjatai dan melatih suku-suku dan kelompok-kelompok sektarian, mengabaikan pemerintah Irak dengan memecah Irak menjadi beberapa 'negara mini' berdasar etnis dan sektarian.

“Bagaimana jika sebuah Irak yang multi-sektarian tidak lagi bisa bertahan? Itu adalah bagian penting dari strategi kita yang berjalan di lapangan,” kata Carter.


“Jika pemerintah (Irak) tidak bisa melakukan apa yang seharusnya dilakukan, maka kita akan mencoba dengan pasukan-pasukan lokal. Namun tidak akan ada lagi sebuah negara Irak,” tambahnya.

Menurut Carter, Dephan Amerika telah melakukan rekrutmen petempur-petempur dari kabilah-kabilan Suni yang akan dilengkapi dengan rudal-rudal anti-tank dan perlengkapan militer berat lain. Selain itu pasukan Amerika di berbagai pangkalan di Timur Tengah juga telah disiapkan untuk melakukan intervensi militer di Irak dan Suriah. Pasukan-pasukan itu telah disiagakan untuk terlibat pertempuran melawan Iran dan sekutu-sekutunya.

"Kita memiliki 35.000 pasukan di seluruh kawasan (Timur Tengah) yang siap untuk menyerang ISIL dan al Qaeda serta melawan pengaruh Iran yang mengancam," kata Carter lagi.

Bulan ini Departemen Pertahanan Amerika mengumumkan rencana pembentukan pangkalan-pangkalan militer AS di Provinsi Anbar, Irak, yang diberi julukan “lily pads” dengan tujuan mengembalikan dominsi Amerika di Irak yang paska penarikan pasukan Amerika tahun 2011 lalu tersingkir dari Irak dan justru digantikan oleh pengaruh Iran yang semakin kuat.

Amerika merencanakan untuk mempertahankan cengkeraman militernya di Irak dengan bekerjasama dengan milisi-milisi lokal yang didukung dengan serangan-serangan drone-drone dan pasukan khusus Amerika.

Dengan rencana itu AS akan 'mengorganisir jaringan pemangku kepentingan regional' yang berbasis di sekitar pangkalan-pangkalan militer terluar Amerika. Dengan pendekatan ini, Dempsey menyebut akan memungkinkan Amerika mendapatkan akses lebih banyak ke suku-suku lokal.

Rencana pemerintah AS itu pun didukung oleh para politisi Amerika. Adam Schiff dari Partai Demokrat menyebut pemerintah Irak sebagai 'sapi yang lepas dari kandang', setelah jatuh ke dalam pengaruh Iran, terutama dalam kampanyenya memerangi kelompok ISIS.

“Anda bisa berargumen kuat, faktanya Irak sudah tidak ada lagi," katanya dalam dengar pendapat hari Rabu.

Dalam sebuah laporan yang dirilis minggu lalu, lembaga kajian berpengaruh Brookings Institution menyerukan kepada pemerintah Amerika untuk meningkatkan jumlah pasukannya di Irak, meski hal itu tidak akan menyenangkan pemerintah Irak.

Analis senior kelompok itu, Michael O’Hanlon menyebut Amerika perlu menambah 7.000 pasukan di Irak, termasuk pasukan-pasukan khusus yang beroperasi secara rahasia.

“Meski ‘shock and awe’ (nama operasi militer AS di Irak) memiliki konotasi buruk di Irak, tidak bisa dipungkiri bahwa memukul keras-keras akan membuat musuh mundur," kata O’Hanlon.

Dengan dukungan parlemen, meski operasi militer Amerika di Irak dan Suriah telah melampaui kewenangannya dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Congress, tampaknya pemerintahan Barack Obama tidak akan kesulitan untuk mewujudkan ambisinya untuk kembali menduduki Irak.

Namun intervensi seperti itu tidak bisa dihindarkan akan melibatkan Amerika dalam konflik langsung dengan Iran, yang kini tengah aktif terlibat dalam operasi penumpasan ISIS di Irak dan bahkan Suriah.(ca)

No comments: