Wednesday 29 July 2015

Mungkinkah False Flag Lagi, Netanyahu?

Indonesian Free Press -- Dalam beberapa waktu terakhir kita melihat fenomena perselisihan tajam antara Amerika dan Israel perihal perundingan program nuklir Iran antara negara-negara maju P5+1 (Amerika, Rusia, Inggris, Perancis, Cina dan Jerman) di satu pihak dengan Iran di pihak lain.

Israel secara terbuka mengatakan bahwa perundingan itu tidak bermanfaat dan hanya justru membuat ancaman Iran terhadap Israel semakin kuat. Israel bahkan sampai melakukan langkah diplomatik yang 'kasar', dimana Perdana Menteri Benjamin Netanyahu datang ke AS dan berpidato di hadapan legislatif (Congress) AS untuk mengecam perundingan tersebut, tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan pemerintah AS.

Dan meskipun Israel telah menggunakan pengaruh lobby-nya yang kuat seperti AIPAC dan para politisi Republikan di Congress, hingga memasang iklan besar-besaran di media-media utama AS tentang penolakan perundingan program nuklir Iran, orang-orang yahudi AS terbelah. Sebagian besar elit yahudi AS mungkin mendukung Netanyahu, namun mayoritas yahudi dan warga AS umumnya mendukung pemerintah AS.

Sebuah jajak pendapat yang digelar lembaga kajian 'Hart Research' menunjukkan bahwa 61 persen warga AS mendukung pemerintahan Barack Obama untuk berunding dengan Iran, sementara hanya 34 pesen yang menolaknya.

Di sisi lain terdapat 'persaingan pribadi' antara Obama dengan Netanyahu. Ini mengingatkan kembali bocornya pembicaraan antara Obama dengan pemimpin Perancis, dimana Obama menyebut Netanyahu sebagai pembohong. Obama sepertinya ingin mengakhiri, atau setidaknya menguranginya secara signifikan dominasi politik Israel atas AS. Obama juga ingin mengakhiri hubungan buruk negaranya dengan Iran. Percakapan teleponnya dengan Presiden Iran Rouhani tahun lalu, meski hanya sekedar berbasa-basi, bahkan menjadi berita yang mengejutkan dunia.

Hal ini tentu seperti sangat menggusarkan Netanyahu, yang menjadikan hancurnya program nuklir Iran sebagai obsesi pribadinya selama bertahun-tahun.

Lalu apa yang akan dilakukan Netanyahu, setelah perundingan program nuklir Iran justru memberikan 'kemenangan' bagi Iran dengan kewajiban Amerika dan sekutu-sekutunya menghentikan sanksi ekonomi yang nyaris melumpuhkan Iran?

Adalah hal menarik bahwa seorang zionis Amerika, Andrew Adler, yang juga seorang editor media yahudi 'Atlanta Jewish Times' menulis editorial yang mendesak Netanyahu untuk membunuh Presiden Obama. Sedangkan zionis lainnya, Patrick Clawson, yang menjadi direktur lembaga kajian Research Washington Institute of Near East Policy (WINEP) menyarankan Netanyahu merancang serangan teroris di Amerika yang kesalahannya akan ditimpakan ke Iran dan mendorong Amerika untuk menyerang Iran.

Dalam pernyataannya itu, Clawson dengan terang-terangan mengakui bahwa langkah 'lempar batu sembunyi tangan', atau istilah inteligennya 'false flag' itu telah menjadi hal yang biasa untuk memicu peperangan.

Ia benar, karena sebagian besar, kalau tidak dikatakan semua perang yang dilakukan Amerika adalah diawali dengan operasi 'bendera palsu'. Minimal memprovokasi lawan untuk menyerang. Dari Perang Mexico yang berujung pada aneksasi wilayah Texas dan California, Perang Vietnam, Perang Melawan Terorisme di era George Bush, hingga serangan udara Amerika dan NATO di Suriah, Irak dan Libya di era Barack Obama.

Dalam kondisi yang tidak menguntungkan, seorang jahat dan pengecut seperti Netanyahu tidak akan segan untuk melakukan 'lempar batu sembunyi tangan' ke rumah tetangganya.

Jika mau, Netanyahu bisa memerintahkan Mossad yang didukung ratusan agen rahasianya yang handal serta ribuan relawan yahudi di seluruh dunia yang disebut “sayanim” bisa membunuh Obama, atau melancarkan serangan teroris dan semua media massa mapan internasional ramai-ramai menuduhnya sebagai tindakan Iran, sebagaimana dalam kasus pemboman kedubes Israel di Buenos Aires, Argentina.

Tidak afdol jika tidak mengingat operasi-operasi 'bendera palsu' yang dilakukan Amerika untuk memulai perang. Paling spektakuler tentu saja adalah 'Serangan WTC 2001' yang menjadi alasan Amerika untuk menyerang Afghanistan dan Irak dan menjadikan dunia tergantung pada Amerika dalam pemberantasan terorisme. Selain itu adalah insiden 'serangan Mexico' tahun 1846, insiden serangan kapal USS Maine tahun 1898, insiden serangan kapal Lusitania tahun 1915, kasus 'Zimmerman telegram' tahun 1917, insiden Teluk Tonkin tahun 1964, kasus 'perawat Nayirah' tahun 1990 dan 'senjata pemunah massal Irak' tahun 2003. Semuanya adalah kebohongan.

Selain itu pembunuhan fisik, selain pembunuhan kharakter, juga menjadi pilihan lain sebuah agenda politik. Pembunuhan Presiden Kennedy tahun 1963 adalah contoh nyata pembunuhan politik untuk mencegah kebijakan perdamaian Presiden Kennedy terhadap Vietnam, Kuba dan Rusia yang mengancam kepentingan industri persenjataan. Sebagian pihak menyebut pembunuhan itu untuk mencegah Kennedy menghentikan program nuklir Israel, atau untuk mencegah Presiden Kennedy mengeluarkan perintah penerbitan uang oleh pemerintah dan bukan oleh Bank Sentral Federal Reserve yang notabene adalah miliknya para bankir swasta.

Sedangkan Presiden Bill Clinton dibunuh kharakternya dengan skandal Monica Lewinsky karena terus mendesak Israel untuk mengimplementasikan perjanjian damai dengan Palestina. Sibuk dengan skandal itu, Clinton pun lupa dengan Perjanjian Oslo dan Perjanjian Madrid yang difasilitasinya.

Namun tidak semua operasi 'bendera palsu' berhasil mencapai sasarannya. 'Operation Northwoods' tahun 1962, sebuah rencana serangan di Amerika yang akan dituduhkan kepada Kuba, mengalami kegagalan setelah Presiden Kennedy mengetahuinya terlebih dahulu sebelum dieksekusi.

Kegagalan lain adalah insiden serangan kapal USS Liberty tahun 1967 di lepas pantai Gaza. Serangan itu dilakukan oleh Israel dengan dukungan Presiden Johnson, untuk memberi alasan bagi Amerika untuk melibatkan diri dalam Perang Arab-Israel. Rencananya, setelah kapal tersebut tenggelam media massa langsung menuduh Mesir sebagai pelaku serangan. Pemerintah Amerika mengikuti skenario tersebut dan memerintahkan serangan terhadap Mesir.

Namun sial bagi Israel, karena ternyata kapal USS Liberty tidak juga tenggelam meski telah dibom dan ditorpedo oleh Israel.

Sejak itu, operasi-operasi 'bendera palsu' terus dilakukan oleh zionis internasional, seperti serangan di kedubes Israel di Argentina tahun 1994, serangan Charlie Hebdo di Paris bulan Januari lalu, hingga serangan terhadap turis Inggris di Tunisia bulan lalu.

Jurnalis Israel Barry Chamish dalam buku 'We Are NOT Charlie Hebdo: Free Thinkers Question the French 9/11' menyebut bahwa serangan itu dirancang oleh Netanyahu untuk mendorong 500 yahudi Perancis pindah ke Israel. Namun hal itu ternyata tidak berjalan mulus karena terbukanya 'permainan' tersebut, demikian tulis Chamish.

Karena kekritisan publik atas berbagai bentuk serangan teroris, dalam hitungan jam di media maya telah beredar gambar-gambar dan analisis tentang kejanggalan-kejanggalan serangan itu.

Sementara itu mantan asisten menteri keuangan Amerika era Ronald Reagan sekaligus mantan editor the Wall Street Journal, Paul Craig Roberts, dalam buku yang sama menyebut serangan itu ditujukan untuk membuat Perancis tunduk pada NATO.

Namun secara umum publik yang kritis melihat bahwa serangan Charlie Hebdo dilakukan sebagai hukuman terhadap Perancis yang parlemennya baru saja mengakui negara Palestina.

Tampaknya kini Netanyahu dan para zionis internasional harus berfikir ulang untuk membuat operasi 'bendera palsu' lagi, karena publik dunia sudah terlanjur kritis. Atau, sebaliknya mereka akan membuat operasi lain yang lebih menghebohkan demi memicu perang dunia yang sekaligus menghapuskan jejak-jejak kejahatan mereka.(ca)

2 comments:

Reza Shahab said...

false flag mungkin lbh tepat disebut maling teriak maling daripada lempar batu sembunyi tangan

gogo said...

perkembangan teknologi akan akses informasi membuat publik smkin kritis, thx utk hal ini. andai 2001 jaringan informasi digital sdh sprti skrng, mngkin invasi afgan bs dcancel..