Tuesday 15 September 2015

'Tendang Keluar' Badan Anti-Narkoba Amerika, Produksi Koka Bolivia Merosot

Indonesian Free Press -- Pemerintah Bolivia menghentikan kerjasama dengan badan anti-narkoba Amerika Drug Enforcement Agency (DEA). Hal itu ternyata berdampak pada turunnya perdagangan narkoba di negara itu, sekaligus membuktikan selama ini DEA secara diam-diam terlibat dalam bisnis gelap tersebut.

Seperti dilaporkan Natural News 11 September lalu, pemerintah Bolivia berhasil mengurangi produksi illegal narkoba di negara tersebut sejak hengkangnya DEA.

"Menurut data dari PBB, Bolivia berhasil mengurangi jumlah ladang koka, tanaman yang menjadi bahan dasar produksi kokain, hingga sekitar 11% sejak tahun 2014, dan lebih dari 30% sejak tahun 2010, dari lebih dari 30.000 hektar menjadi sekitar 20.000 hektar," demikian laporan itu menyebutkan.

DEA diusir dari Bolivia tahun 2008 setelah dicurigai melakukan aktifitas konspirasi dan mata-mata terhadap Bolivia.

Dalam penangangan produksi narkoba itu pemerintah Kolombia mengejutkan banyak pengamat, karena ternyata tidak banyak menggunakan kekerasan. Sebaliknya, pemerintah banyak melakukan langkah persuasif dengan membujuk para petani untuk mengubah tanaman produksinya dengan tanaman lain yang lebih produktif dan tidak melanggar hukum.

Menurut data PBB, produksi koka Bolivia tahun ini menunjukkan tingkat paling rendah sejak PBB melakukan monitoring pada tahun 2003. Ambisi pemerintah Bolivia kini adalah mengurangi lahan produksi koka menjadi hanya sebesar 12.000 hektar, atau sesuai dengan tingkat kebutuhan koka yang legal.


"Bolivia telah menerapkan kebijakan berdasarkan dialog, dimana produksi koka diijinkan di area-area tradisional, sejalan dengan perkembangan alternatif," kata Antonino de Leo dari badan pengendalian narkoba PBB UNODC, seperti dilansir Natural News.

Antonino memuji keberhasilan tersebut dan menyebutkan sebagai 'pendekatan yang inovatif' yang tidak melanggar HAM.

Namun hal itu tidak terlalu mengejutkan jika kita mempertimbangkan bahwa presiden negara itu, Evo Morales, adalah mantan petani koka. Sejak terpilih sebagai presiden tahun 2005, Morales melakukan pendekatan serius kepada para petani untuk mengurangi produksi koka mereka dengan janji pemerintah akan membayarnya dengan harga yang lebih baik. PBB memperkirakan harga daun koka kering legal di Bolivia mencapai $8 per-kilogram. Harga tersebut beberapa kali lipat harga bahan sejenis di negara-negara Amerika Latin lainnya seperti Colombia dan Peru.(ca)

No comments: