Sunday 6 November 2016

Iran Kembali Kalahkan Saudi, Aoun Presiden Lebanon


Indonesian Free Press -- Determinasi tinggi dan penuh kesabaran, itulah kunci kemenangan politik Iran melawan kepentingan-kepentingan asing yang berseberangan dengannya. Ini sudah cukup ditunjukkan Iran dengan kemenangannya melawan berbagai sanksi yang diterima karena program nuklir yang dijalankannya. Juga tentu saja kemenangan Iran dalam perang melawan Irak tahun 1980-1988.

Dan Iran kini kembali menunjukkan kemenangan gemilang atas lawan utamanya, Saudi Arabia, di medan tempur politik Lebanon. Kandidat dukungan Hizbollah yang tidak lain adalah proksi Iran, Michael Aoun, akhirnya terpilih menjadi Presiden Lebanon, mengalahkan kandidat dukungan Saudi Arabia. Ini sekaligus mengakhiri krisis politik terkait pemilihan presiden di Lebanon, yang berlangsung hingga dua tahun.

Selama dua tahun Lebanon praktis tanpa dipimpin oleh seorang Presiden setelah kekuasaan Michael Sulaimen berakhir, sementara faksi-faksi politik yang bersaing, yaitu blok yang dipimpin Hizbollah melawan blok yang dipimpin partai pro-Saudi Arabia Al Mustaqbal gagal memilih penggantinya.

Sebagai kandidat yang didukung blok yang menguasai parlemen (Hizbollah), Michael Aoun sebenarnya berpeluang besar menjadi Presiden Lebanon yang konstitusinya mengharuskan jabatan itu dipegang oleh orang Kristen. Namun blok Mustaqbal juga ngotot dengan keinginannya agar jabatan itu dipegang oleh kandidat yang disukainya, mengingat di blok ini juga terdapat partai-partai Kristen seperti Lebanon Force dan Falangis.

Lebanon sendiri beberapa tahun terakhir, mendapat tekanan keras dari Saudi Arabia untuk berkiblat ke Saudi. Tekanan ini bahkan terasa sangat kasar ketika Saudi meminta Lebanon untuk menyetujui pernyataan bersama Liga Arab yang disusun Saudi yang menyebut Hizbollah sebagai kelompok teroris dan Iran sebagai pendukung terorisme. Ketika Lebanon menolak, Saudi pun membatalkan bantuan ekonomi senilai miliaran dollar.

Di sini masalah muncul, karena undang-undang Lebanon mengharuskan adanya kompromi antara semua kelompok politik dalam urusan-urusan strategis, membuat pemilihan presiden berjalan alot dan berlarut-larut. Seolah sudah menjadi tradisi di Lebanon bahwa pemilihan presiden dan juga perdana menteri memerlukan waktu bertahun-tahun.

Lalu, apa yang menjadi faktor tercapainya kompromi?

Adalah faktor 'minyak' yang menjadi penyebabnya. Ditemukannya sumber minyak di lepas pantai Lebanon dan rencana eksploitasinya telah menyatukan kepentingan semua kelompok politik yang bersaing. Jika tidak, peluang mendapatkan keuntungan melimpah pun kandas. Saad Hariri, pemimpin al Mustaqbal, mantan perdana menteri dan pengusaha kelahiran Saudi Arabia yang bisnisnya di negara asalnya tengah paceklik karena terkait dengan kasus crane tumbang, tentu tidak akan meninggalkan peluang mendapatkan bagian keuntungan dari eksploitasi minyak di negaranya sendiri. Lagipula, dengan bersedia kompromi peluangnya untuk kembali menduduki jabatan perdana menteri yang menjadi jatahnya kelompok Islam Sunni, menjadi terbuka.

Menangnya Iran dalam 'tarik-menarik' pemilihan Presiden Lebanon terlihat dari respon pemerintah Iran yang langsung memberikan selamat kepada Aoun. Politisi senior Iran Ali Akbar Velayati bahkan menyebut hal itu sebagai kemenangan Iran dan sekutu-sekutunya di Lebanon karena 'Presiden adalah jabatan yang sangat penting dalam mata rantai perlawanan Islam melawan Israel'.

Terlepas dari itu semua, sangat menarik untuk mengenali siapakah Michael Aoun sebenarnya. Ia adalah tokoh yang di masa lalu menjadi lawan berat Iran dan sekutu-sekutunya di Lebanon. Ia pendukung Saddam Hussein ketika Irak menyerang Iran tahun 1980-1988. Ia menjadi bagian kelompok yang mendukung Israel selama invasi Israel ke Lebanon tahun 1981 dan selama perang sipil yang baru berakhir pada dekade 1990-an.

Tindakan paling nekad yang dilakukannya untuk melawan blok Iran-Hizobollah-Suriah adalah ketika ia memproklamirkan perang melawan Suriah setelah ia secara sepihak memproklamirkan diri sebagai Presiden Lebanon pada tahun 1988. Gagal dalam petualangan berbahaya ini, ia pun melarikan diri ke Perancis dan hidup dalam pengasingan selama bertahun-tahun.

Hingga tahun 2005, ketika terjadi pembunuhan mantan Perdana Menteri Saad Hariri dan disusul oleh aksi-aksi demonstrasi menentang maupun mendukung kehadiran pasukan Suriah di Lebanon, Aoun masih berada di posisi yang berseberangan dengan Hizbollah. Baru, setelah melihat kehebatan Hizbollah mengalahkan Israel dalam perang tahun 2006, Aoun berubah haluan menjadi pro-Hizbollah.

Dengan usia melebihi pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, Aoun, yang juga pernah menjadi panglima angkatan bersenjata itu juga bisa dipandang sebagai politisi yang sangat ambisius. Namun terlepas dari itu semua, Aoun kini adalah sekutu blok anti-zionis yang cukup setia. Selama 10 tahun terakhir krisis politik yang terjadi di Lebanon, Aoun setia dengan pilihan politiknya. Bahkan dengan bujukan dan ancaman Saudi Arabia berkaitan dengan Hizbolah dan Iran serta konflik Suriah, Menlu Gebran Bassil yang tidak lain adalah menantu Aoun, tetap menolak untuk beralih pilihan politik. Meski, demi menjaga netralitas Lebanon memilih menolak tawaran Iran dan Rusia untuk membantu Lebanon dalam pengadaan peralatan militer.

Perlu diberikan pujian kepada Aoun, ketika dalam pidato pertamanya setelah terpilih menjadi Presiden Lebanon ke-17 ia berjanji akan memerangi korupsi dan melindungi Lebanon dari dampak buruk konflik di Suriah. Lebih jauh, ia berjanji akan melakukan langkah tegas untuk membebaskan wilayah Lebanon terakhir yang diduduki Israel.

Selama puluhan tahun Lebanon memilih 'condong' kepada kepentingan Saudi Arabia dan Amerika, yang hanya mengakibatkan Lebanon dua kali diserang Israel sekutu kedua negara itu, pada tahun 1981 dan 2006. Dengan terpilihnya Aoun, diharapkan Lebanon lebih 'percaya diri' untuk menolak tekanan zionis internasional dan menjalin hubungan politik-ekonomi yang lebih positif dengan Iran, negara yang dengan tulus terus memberikan dukungan dan bantuan kepada Lebanon.(ca)

No comments: