Thursday 23 March 2017

Selamat Tinggal Iran, I Love Indonesia (8)

Indonesian Free Press -- Pada tanggal 15 Februari 1979, atau empat hari setelah para revolusioner berhasil merebut kekuasaan dari Raja Shah Pahlevi dan Perdana Menteri Shampour Bahtiar, empat orang perwira tinggi militer Iran dihukum mati dengan ditembak. Lokasi eksekusi adalah di atap sebuah sekolah yang menjadi tempat tinggal sementara pemimpin revolusi, Khomeini. Keesokan harinya, media-media Iran menampilkan gambar ke-empat mayat korban eksekusi di dalam kamar mayat. Sebagian di antara mereka tampak mengalami luka-luka parah karena siksaan.

Mehdi Rahimi, panglima militer Teheran yang menjadi salah satu korban eksekusi dan tampak mengalami bekas penyiksaan paling keras dengan tangan dan kakinya nyaris putus, adalah orang yang pada tanggal 11 Februari menolak mengerahkan pasukannya, termasuk Garda Immortal yang berkekuatan 30.000 pasukan dengan senjata lengkap. Jika saja ia mau bertindak seperti Jendral Al Sisi di Mesir dengana rela mengorbankan nyawa ribuan orang warga sipil, Revolusi Iran tahun 1979 hampir dipastikan akan mengalami kegagalan.

Sejak itu penangkapan-panangkapan, penahanan-penahanan disertai penyiksaan dan eksekusi-eksekusi dijalankan oleh para revolusioner atas restu Khomeini, dengan proses pengadilan yang jauh dari standar kepatutan. Dalam beberapa bulan setelah revolusi lebih dari 200 pejabat senior dieksekusi. Pada tanggal 7 April 1979, mantan perdana menteri Amir-Abbas Hoveyda dieksekusi. Dua hari kemudian 10 pejabat tinggi, termasuk dua jendral dan seorang menteri, dieksekusi. Selanjutnya sehari kemudian mantan Menlu Abbas Ali Khalatbari dan 10 mantan pejabat tinggi lainnya juga dieksekusi.

Setelah itu, eksekusi-eksekusi berjalan semakin cepat. Tidak hanya di dalam negeri, namun juga di luar negeri. Paska revolusi sebanyak 63 warga Iran yang dianggap sebagai lawan revolusi dibunuh di luar negeri, termasuk Shampour Bachtiar yang dieksekusi di Paris, 10 tahun setelah revolusi.

Antara Januari 1980 hingga Juni 1981 sebanyak 906 dieksekusi, dan jumlahnya semakin intensif setelah penggulingan Presiden Abulhassan Banisadr pada 20 Juni 1981 karena dianggap telah melawan Khomeini. Amnesty International mencatat terdapat 2.946 hukuman mati selama setahun setelah penggulingan Bani-Sadr. Kelompok oposisi Mojahedin-e Khalq mencatat 7.746 anggotanya tewas selama Juni 1981 dan September 1983.

Sedangkan sejarahwan Ervand Abrahamian menyebut pengadilan revolutioner telah menghukum mati 8.000 anggota oposisi antara Juni 1981 dan Jun1 1985. Mereka tidak hanya dari kelompok nasionalis-sekuler dan sosialis serta kelompok  Mojahedin-e Khalqnamun, namun juga pengikut Ayatollah Shariatmadari. Jumlah itu jauh lebih kecil daripada korban kekejaman regim Shah Pahlevi.

Penelitian Emadeddin Baghi dari Yayasan Martir (Bonyad Shahid) menemukan 'hanya' 3.164 orang yang tewas karena tindakan regim Shah antara tahun 1963 hingga 1979. Dan meskipun Khomeini dan konstitusi Iran menyebut jumlah korban sipil akibat tindakan represif regim Shah selama revolusi mencapai 60.000 jiwa, angka sebenarnya jauh lebih kecil.

Yayasan Martir yang didirikan paska revolusi untuk memberikan kompensasi kepada korban revolusi hanya mampu mengidentifikasi 744 korban revolusi di Teheran, pusat dari gerakan revolusi. Sedangkan koroner resmi di Teheran serta petugas pekuburan utama di Teheran, Behesht-e Zahra, hanya mencatat korban tewas sebanyak 895 dan 768.

Dalam berbagai insiden terkenal selama revolusi juga terjadi 'hiperbolaisasi' atau pembesar-besaran jumlah korban. Dalam kerusuhan tanggal 9 Januari 1978 di Qom yang tercatat sebagai kerusuhan besar pertama, Center for Documents on the Islamic Revolution, sebuah lembaga pro-revolusi, mencatat hanya 5 orang meninggal. Padahal para revolusioneris sebelumnya mengklaim angkanya mencapai ratusan orang.

Pada tanggal 18 Februari 1978 terjadi bentrokan antara demonstran dan aparat pemerintah di Tabriz. Para revolusioneris mengklaim 500 warga sipil demonstran anti Raja Shah tewas. Penelitian yang dilakukan baru-baru ini ternyata hanya menemukan 13 orang yang meninggal.

Hiperbola juga terjadi dalam insiden "Black Friday" 8 September 1978 di Tehran ketika ribuan demonstran berbaris di jalanan menentang 'hukuman mati' dan larangan demonstrasi. Aparat menggunakan kekerasan untuk membubarkan aksi sehingga korban berjatuhan. Khomeini menyebut angka korban tewas mencapai 'ribuan korban keganasan pasukan zionis'. Namun Yayasan Martir kemudian hanya menemukan 79 orang yang menjadi korban, kantor koroner Tehran mencatat 82 korban dan pengurus pekuburan Beheshte-e Zahra mencatat 40 korban tewas.

Satu penjelasan jelas tentang relatif kecilnya korban kekerasan aparat selama revolusi adalah karena Shah Pahlevi menolak menggunakan kekuatan penuh dan melakukan pembantaian massal terhadap rakyatnya. Berkali-kali shah mengatakan kepada para diplomat asing bahwa ia tidak ingin membantai rakyatnya demi mempertahankan kekuasaan.

Selama revolusi yang berlangsung sejak tahun 1978, seorang komandan militer mengusulkan untuk membom kota Qom dan seorang jendaral angkatan udara bersedia membantai 100.000 demonstran untuk menghentikan revolusi. Seorang komandan polisi khusus SAVAK berjanji akan menghentikan semua aksi demonstrasi dalam seminggu jika Shah mengijikannya melakukan segala tindakan keras. Sementara beberapa pemimpin Arab menyarankan Shah untuk menghukum mati 700 mullah. Semuanya ditolak Shah.

Lalu, mengapa muncul angka 60.000 korban revolusi Iran? Angkanya mirip dengan 6 juta yahudi korban holocoust yang digembar-gemborkan para zionis yang ternyata juga 'pepesan kosong' belaka. Lagipula para zionis menyukai angka 6 sehingga simbol bendera Israel pun berbentuk segi 6. Kitab injil juga menyebut anti-Crist (dajjal) dengan simbol angka 666. Ada hubungankah?(ca)


Bersembung.

1 comment:

Kasamago said...

Shah Palevi seolah pasrah jika di gulingkan. Iran sebagai militer terkuat dikawasan saat itu psti sanggup menekan revolusi meski hrs terjadi perang saudara..

Kelak hanya Tiongkok yg berani melakukannya dg imbas tragedi Tianmen