Tuesday 15 August 2017

Kanker Bukan Penyakit?

Indonesian Free Press -- Di jaman modern seperti sekarang ini, kanker merupakan penyakit pembunuh manusia terbesar di dunia setelah jantung. Padahal, di masa lalu kanker bahkan relatif tidak dikenal karena jarangnya. Para ahli sepakat bahwa lingkungan yang tercemar, polusi, makanan dan minuman buatan berbahan kimia merupakan faktor-faktor yang memicu munculnya penyakit kanker. Namun, ada faktor lain yang lebih penting dari itu semua, yaitu kekurangan vitamin B-17.

Demikianlah hasil temuan Dr. Ernst T. Krebs, Jr tahun 1950, ketika ia berhasil menemukan turunan Vitamin B-17 dan disebut sebagai 'Laetrile'. Dari penelitian intensif yang dilakukannya terbukti zat ini memiliki kemampuan tinggi untuk membunuh sel-sel kanker.

Sebelumnya, saya ingin menceritakan tentang pengalaman yang dialami abang ipar saya yang bekerja di McDermott, perusahaan asing fabrikasi peralatan pengeboran minyak lepas pantai di Batam. Diduga karena kelelahan dan kurang istirahat, ditambah selalu menghirup udara yang terkontaminasi oleh debu-debu logam yang ditimbulkan oleh aktifitas produksi perusahaan, ia menderita penyakit hati dan telah divonis dokter harus menjalani terapi kemo di Malaysia.


Kebetulan abang ipar saya yang lain di Medan memiliki keahlian pengobatan herbal dan bekerja sambilan sebagai tabib. Olehnya disarankan agar abang saya di Batam, sebut saja namanya Ucok, dirawat sendiri di Medan. Setelah melalui perdebatan sengit, akhirnya dokter yang merawatnya di Batam mengijinkan Bang Ucok dirawat sendiri.

Selama dirawat di Medan, Bang Ucok menjalani diet ketat. Setiap hari ia harus minum ramuan obat herbal yang tidak saya ketahui bahan-bahannya. Namun saya tahu beberapa di antara obat-obatan itu, yaitu madu dan pil ekstrak teripang.

Alhamdulillah, hanya dalam waktu kurang dari 2 bulan, penyakit kanker hati telah menghilang dan kini ia telah kembali bekerja seperti semula. Padahal baru beberapa bulan sebelumnya, rekan kerjanya mengalami masalah yang sama. Namun setelah menjalani terapi kemo di Penang, Malaysia, justru meninggal dunia. Dan pada saat yang hampir sama ketika Bang Ucok mengalami kesembuhan, media-media massa ramai mengabarkan dua selebritis nasional, Yana Zein dan Julia Perez, meninggal dunia setelah menjalani terapi kemo yang sangat mahal di luar negeri.

Kembali ke topik tentang Vitamin B-17 Laetrile, setelah Dr Krebs menemukan obat ajaib ini, industri farmasi yang tidak mendapatkan hak patennya berusaha mendiskreditkan penemuan tersebut dengan menyebar mitos bahaya racun sianida yang terkandung di dalam vitamin ini. Salah satu upaya untuk mematikan Laetrile adalah dengan menyebarkan kabar hoax tentang kematian sepasang suami istri akibat mengkonsumsi biji aprikot. Padahal selama ribuan tahun jutaan manusia telah mengkonsumsi biji aprikot dan tidak ada masalah.

B17 Laetrile temuan Dr Krebs adalah turunan dari biji apricot yang disintetiskan ke bentuk 'crystalline' dengan menggunakan caranya yang unik. Kampanye negatif melalui media massa dan para ahli yang dibayar serta otoritas yang terkontaminasi (American Food & Drug Administration dan American Medical Association) membuat obat ajaib itu dilarang di Amerika dan menyusul negara-negara lainnya. Pada saat yang sama mereka mengabaikan fakta bahwa vitamin lainnya yang banyak beredar di masyarakat, B-12, juga mengandung sianida. Mafia industri farmasi dan kesehatan global juga mendorong digunakannya metode pengobatan yang justru jelas-jelas sangat destruktif terhadap sel-sel tubuh manusia, yaitu terapi kemo.


Bagaimana Vitamin B-17 Membunuh Kanker?

Dr. Ernst Krebs telah membuktikan bahwa sianida dalam vitamin B17 sama sekali tidak berbahaya bagi manusia dengan menyuntikkan sejumlah besar Laetrile ke tangannya dan ia tetap hidup selama puluhan tahun kemudian (meninggal secara wajar pada September 1996).

Hal ini bisa dijelaskan secara rasional. Molekul B-17 mengandung satu unit sianida (cyanide), satu unit benzaldehyde dan dua unit glucose (gula) yang terikat dengan kuat. Sianida di dalamnya baru akan bersifat racun setelah dilepaskan dari ikatan molekul. Masalanya, hal ini hanya bisa dilakukan dengan mencampurkan enzim bernama beta-glucosidase yang nyaris tidak dimiliki oleh tubuh manusia kecuali dalam jumlah sedikit, namun melimpah di dalam sel-sel kanker.

Ketika B-17 berada di dalam sel kanker, molekulnya langsung terpecah dan menimbulkan dampak yang menghancurkan sel kanker. Selain sianida yang meracuni dan membunuh sel kanker, benzaldehyde juga memberikan dampak yang tidak kalah hebat. Bersama sianida, keduanya memiliki sifat racun hingga 100 kali lipat dibandingkan ketika masih terikat dalam satu molekul B-17, dan seketika membunuhi sel-sel kanker.

Lalu bagaimana dampaknya racun berbahaya itu terhadap tubuh manusia sendiri.

Syukurnya tubuh manusia memiliki enzim lainnya yang bisa menetralisir racun sianida dan benzaldehyde tersebut, yaitu rhodanese, yang jumlahnya secara alami lebih dari cukup untuk mengikat racun yang terlepas dan mengubahnya menjadi enzim yang bermanfaat. Sebaliknya, sel kanker tidak memiliki enzim rhodanese sama sekali sehingga tidak memiliki senjata untuk melawan vitamin B-17.

Sejak puluhan tahun yang lalu para ahli pertanian telah mengetahui dampak negatif dari kemampuan enzim beta-glucosidase melepaskan ikatan sianida dari molekul Vitamin B-17 terhadap binatang ternak. Namun tidak diketahui bagaimana cara menanganinya tanpa menimbulkan kerugian. Sebagai jalan pintas, semua tanaman yang mengandung B-17 dikategorikan sebagai 'beracun'. Selanjutnya dilakukan upaya genetis untuk menghilangkan sama sekali kandungan molekul tersebut.***


(Bersambung)

1 comment:

Kasamago said...

Informasi yg wajib di kaji n diterbitkan dlm edisi bhs indonesia..

Kebidupan penuh keajaiban ilahi, Alam meberikan obat dan berkat tetapi ulah manusia sendiri yg melepaskan penyakit demi kepentingannya..