Thursday 14 September 2017

Kepentingan Zio-Anglo di Balik Konflik Myanmar (2)

Indonesian Free Press -- Pengamat internasional Hendrajit dari Global Future Institute dalam sebuah status di Facebook menyebut bahwa Michael Aris, suami dari pemimpin 'de facto' Myanmar Aung San Suu Kyi, adalah seorang agen rahasia dinas inteligen Inggris.

Tanpa pernyataan pengamat tersebut, sebagai seorang diplomat Inggris Aris otomatis adalah agen dinas inteligen Inggris.

Lalu, kalau ada seorang wanita menikah dengan seorang agen dinas inteligen Inggris dan kemudian mendapat dukungan moril, finansial dan publikasi besar-besaran dari para pejabat dan pers Inggris dan Amerika, apakah kita akan meragukan bahwa ia juga agen kepentingan Inggris dan Amerika? Tentu saja tidak.


Lihat saja bagaimana 'mesra'nya Suu Kyi menyambut Presiden Amerika Barack Obama saat ia berkunjung ke Myanmar. Sama seperti kemesraan dalam pertemuan Obama dengan mantan PM Thailand Yingluck Shinawatra atau dalam pertemuan antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan para pejabat IMF dan Bank Dunia, hal itu tidak mungkin terjadi bila keduanya tidak memiliki hubungan emosional yang tinggi yang tidak akan mungkin terjadi bila tidak adanya 'ikatan emosional' yang didasarkan oleh kepentingan tertentu.

Amerika dan Inggris, negara yang memiliki kedekatan kultur dan politik dengan Myanmar yang merupakan bekas negara jajahan, adalah bagaikan saudara kandung. Efektif sejak kemerdekaan Amerika tahun 1774, keduanya tidak terpisah dalam berbagai konflik global. Dalam Perang Dunia I, Perang Dunia II, Perang Dingin, Perang Teluk, Perang Irak, dan hingga Perang Afghanistan yang saat ini masih berlangsung, Amerika dan Inggris berdiri bahu-membahu.

New Eastern Outlook menyebutkan bahwa yang terjadi di Myanmar saat ini merupakan proyek baru Amerika yang disebut “pivoting to Asia”, dengan tujuan memperkuat cengkraman atas Myanmar dengan beberapa tujuan sekaligus: membuka investasi untuk Amerika dan sekaligus mengeksploitasi sumber alam Myanmar yang melimpah dan selama ini terpendam karena ketertutupan negara itu, menghentikan dominasi Cina yang memiliki kedekatan hubungan dengan militer Myanmar dan sekaligus menyelamatkan Aung San Suu Kyi dan kebangkrutan politik.

Dalam strategi ini, seperti biasa digunakan isyu ekstremisme Islam sebagai pemicu ketegangan, dengan dukungan media-media massa dan LSM dan lembaga-lembaga kajian seperti The International Crisis Group (ICG) yang berbasis di Brussels.

"Dalam kenyataannya, lembaga-lembaga kajian itu memproduksi berbagai narasi yang kemudian diangkut oleh media-media massa Amerika dan Eropa, untuk mengubah persepsi publik untuk mendukung aspirasi geopolitik Barat," tulis New Eastern Outlook.

Dan dalam kasus Myanmar, narasi yang dibangun oleh ICG dan media-media Barat adalah munculnya apa yang disebut “Rohingya insurgency.” The Wall Street Journal misalnya, menulis artikel berjudul “Asia’s New Insurgency Burma’s abuse of the Rohingya Muslims creates violent backlash.”

"Kini langkah immoral ini telah menciptakan aksi-aksi kekerasan balasan. Kelompok perlawanan Muslim terbaru ini menempatkan para militan dukungan Saudi ini bertempur melawan aparat keamanan Burma. Dan ketika pasukan pemerintah membalas dendam kepada warga sipil, mereka menciptakan alasan bagi lebih banyak warga Rohingya untuk berperang," tulis Wall Street Journal.

Tidak ketinggalan artikel tersebut juga menyebut kelompok Harakah al-Yaqin yang disebutnya sebagai 'jawaban Saudi' atas permintaan komite Rohingya yang bermigrasi ke Mekkah dan seorang kader lokal Rohingya yang berpengalaman dalam perang gerilya di luar negeri.

Menurut laporan itu, aksi-aksi kekerasan terbaru di Myanmar dipicu oleh serangan bom yang dilakukan oleh kelompok militan dukungan Saudi, Pakistan dan Emirat Arab yang menewaskan beberapa petugas keamanan Myanmar.(ca) 


Bersambung

No comments: